Rabu, 13 Agustus 2014

SEPUCUK SURAT UNTUK IBU

Senja nan elok di sore hari. Cakrawala langit maha karya-Nya yang tiada tandingannya telah menggugah hatiku untuk terpaku memandanginya. Sore itu aku duduk di kursi kayu beranda rumah. Amatlah asing pandangan mata ini yang baru kali ini takjub akan indahnya senja. Sambil memandangi langit sore, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu kedatangan pak pos untuk mengirim surat yang berisi sesuatu. Aku tidak tau pasti apa isi surat itu, namun apa daya. Siang hari tadi ibuku menyuruhku untuk menerima surat yang akan diantar oleh pak pos sore ini. Saat aku bertanya mengenai isi surat itu, ibuku hanya bilang, “Bukan surat apa-apa. Kamu tidak perlu tau.” Begitulah beliau menjawab pertanyaanku.
            Sambil menunggu, aku bermain-main dengan kucing kesayanganku. Kuelus-elus bulunya yang lembut dan bersih. Tak berapa lama terdengar suara knalpot motor yang bising. Aku yakin itu suara motor pak pos yang memang biasanya mengantar surat-surat dengan motor berknalpot bising itu. Ternyata benar. Aku langsung menuju pagar rumahku. Terlihat pak pos memberhentikan suara motornya dan turun dari motor. Ia membuka resleting tasnya yang pastinya mencarik surat untukku.
            “Sudah menunggu lama ya, dik?” tanyanya.
            “Tidak pak. Hanya sebentar saja.” Jawabku.
            “Ini ada surat ditujukan untuk ibu Sutinah. Tolong sampaikan pada ibumu ya, dik.”
            “Baik pak. Terima kasih.”
            Setelah kuterima surat itu, segera aku masuk ke dalam rumah untuk memberikan surat itu pada ibu. Ibu sedang menjahit rok sekolahku di kursi ruang tamu yang terbuat dari kayu. Tanpa basa basi, aku katakan bahwa pak pos sudah datang dan langsung kuberikan surat itu. Aku langsung pergi menuju kamarku dan sengaja pintunya tak kututup rapat-rapat. Diam-diam, aku mengintip ibu dari celah pintu. Ibu mulai membuka isi surat dari amplop putih itu. Setelah kurang lebih 2 menit terpaku atas kertas itu, ibu mulai meneteskan mata. Entah apa isi surat itu. Ibu terhanyut. Kerudung hitamnya basah untuk mengelap air matanya. Lalu aku sebagai anaknya apakah akan diam saja melihat ibu menangis? Tapi jujur aku tak tega melihat ibu menangis setelah membaca isi surat itu. Disisi lain, saat tadi siang kutanya isi surat itu, ibu terlihat seperti tidak mau memberi tahu apa-apa tentang surat itu.
            Aku tak tega. Jujur aku tak tega. Belum pernah kulihat ibu menangis. Aku sungguh tak tega! Aku ingin nangis. Sungguh! Namun tanpa berpikir panjang, aku keluar dari kamarku dan kudekap ibu yang sedang menangis. Aku belum bertanya alasan ibu menangis. Kubiarkan ia menangis dalam dekapanku. Tanpa terasa, air mataku pun menetes membasahi pipiku. Tetes demi tetes hingga aku tak kuasa mendengar ibu yang semakin terisak menangis. Aku pun menangis sedu. Entah kapan aku harus mengakhiri tangisan ini dan entah kapan aku akan mulai bertanya pada ibu. Namun setelah kuusap punggung ibu yang sedang terisak, sepertinya tangisan ibu mulai mereda. Ia mengusap air matanya dan mulai memandangiku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan. Ayolah bu, ceritakan ada apa. Benakku.
            “Maafkan ibu ya, nak. Ibu bukan seorang wanita yang bisa membahagiakanmu.”
            Dengan air mata masih menetes di pipiku, aku berusaha untuk berbicara walaupun rasanya susah. “Ibu, ada apa? Mengapa ibu menangis? Aku tidak tega melihat ibu menangis seperti ini.” tanyaku.
            “Surat ini dari ayahmu. Ibu mau jujur, nak. Selama ini ibu selalu bilang bahwa ayah kerja di luar negeri. Sejak kau lahir di dunia ini hingga detik ini, kau belum pernah melihat sosok ayahmu. Maafkan ibu, nak. Sebenarnya ayah tidak kerja di luar negeri. Sejak sebelum kau lahir, ayah memang sudah meninggalkan ibu. Tapi kamu memang benar darah daging ibu dan ayah. Tenang, nak. Kamu bukan anak haram yang hamil di luar nikah. Kamu anak sah. Ayah meninggalkan ibu karena ayah disuruh oleh ibunya yaitu nenek kamu, untuk meninggalkan ibu yang secara garis kelahiran berasal dari turunan orang tidak mampu. Ayah itu orang berada dan nenekmu tidak ingin ayah menikah dengan gadis miskin seperti ibu saat itu. Jujur hingga saat ini, ayah tidak pernah mengabari keadannya. Tidak pernah menanyakan kabar ibu juga tidak pernah menanyakan kabar anaknya yaitu kamu.
Ibu semalam bermimpi mendapat surat dari ayahmu. Mimpi itu terlihat seperti akan menjadi kenyataan. Maaf tadi ibu menyuruhmu menunggu pak pos karena ibu takut kalau mimpi itu hanya sekadar mimpi dan ibu sudah berharap terlalu lebih untuk mengetahui semua tentang ayahmu, makanya ibu menyuruhmu menunggu. Dan ternyata memang benar ibu mendapatkan surat ini. Maaf juga, nak. ibu tadi tidak mau memberi tau tentang surat ini. Tapi pada saat tadi ibu menangis dan kamu mendekap ibu, ibu berpikir mungkin ini saatnya ibu katakan yang sejujurnya padamu. Ibu pikir kamu sudah beranjak dewasa.
Dan sekarang di surat ini adalah pertama kalinya ayah memberi tahu keadaannya dan segalanya yang berkaitan tentang dirinya. Saat ini ayah sudah bahagia bersama keluarga barunya. Ini foto mereka di Malaysia karena saat ini mereka tinggal di Malaysia. Ini sepertinya anak tertuanya yang mungkin sebesar kamu. Ini saudara kamu, nak. Jujur sebenarnya ibu terluka. Betapa ibu mencintai ayahmu. Dan saat ini beliau memperlihatkan kebahagiaan bersama keluarga barunya. Ibu harus mengikhlaskan. Dan kamu harus mendoakan ayah supaya ayah dilindungi Allah dan selalu diberikan kebahagiaan.“
Begitu ibu menjelaskan panjang lebar semuanya padaku. Kini aku mengerti mengapa ibu sering mengatakan bahwa kita harus mendoakan kebahagiaan orang lain. Mungkin maksud tersirat ibu adalah mendoakan ayah yang tak pernah aku temui sama sekali dalam hidupku. Aku sudah salah kaprah. Selama ini aku merasa bahagia disaat segalanya berjalan sesuai dengan keinginan. Namun pada saat semuanya berubah menjadi sulit, terkadang aku menolak, tidak bisa menerima, penolakan demi penolakan terus muncul. Sehingga aku mulai membayangkan saat sebelum kesulitan ini datang dan saat yang akan datang ketika kesulitan ini berakhir. Aku merasa bahagia apabila ayah datang untuk melihat aku, melihat anaknya. Namun kini aku sadar, disaat ayah tidak ada aku harus menerima dan tidak ada penolakan yang muncul. Semua ini sudah terbuat dalam skenario Tuhan. Bahagia atau tidak bahagia semua orang telah memilikinya.
Ketika aku bisa mensyukuri apa yang telah aku miliki maka aku akan bahagia. Aku yakin bahwa Tuhan telah memberikanku hak untuk berbahagia. Aku harap ayah bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar