Senja nan elok di sore hari. Cakrawala
langit maha karya-Nya yang tiada tandingannya telah menggugah hatiku untuk
terpaku memandanginya. Sore itu aku duduk di kursi kayu beranda rumah. Amatlah
asing pandangan mata ini yang baru kali ini takjub akan indahnya senja. Sambil
memandangi langit sore, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu kedatangan pak
pos untuk mengirim surat yang berisi sesuatu. Aku tidak tau pasti apa isi surat
itu, namun apa daya. Siang hari tadi ibuku menyuruhku untuk menerima surat yang
akan diantar oleh pak pos sore ini. Saat aku bertanya mengenai isi surat itu,
ibuku hanya bilang, “Bukan surat apa-apa. Kamu tidak perlu tau.” Begitulah
beliau menjawab pertanyaanku.
Sambil menunggu, aku bermain-main
dengan kucing kesayanganku. Kuelus-elus bulunya yang lembut dan bersih. Tak berapa lama terdengar suara
knalpot motor yang bising. Aku yakin itu suara motor pak pos yang memang
biasanya mengantar surat-surat dengan motor berknalpot bising itu. Ternyata
benar. Aku langsung menuju pagar rumahku. Terlihat
pak pos memberhentikan suara motornya dan turun dari motor. Ia membuka
resleting tasnya yang pastinya mencarik surat untukku.
“Sudah menunggu lama ya, dik?”
tanyanya.
“Tidak pak. Hanya sebentar saja.”
Jawabku.
“Ini ada surat ditujukan untuk ibu
Sutinah. Tolong sampaikan pada ibumu ya, dik.”
“Baik pak. Terima kasih.”
Setelah kuterima surat itu, segera
aku masuk ke dalam rumah untuk memberikan surat itu pada ibu. Ibu sedang
menjahit rok sekolahku di kursi ruang tamu yang terbuat dari kayu. Tanpa
basa basi, aku katakan bahwa pak pos sudah datang dan langsung kuberikan surat
itu. Aku langsung pergi menuju kamarku dan sengaja pintunya tak kututup
rapat-rapat. Diam-diam, aku mengintip ibu dari celah pintu. Ibu mulai membuka
isi surat dari amplop putih itu. Setelah kurang lebih 2 menit terpaku atas
kertas itu, ibu mulai meneteskan mata. Entah apa isi surat itu. Ibu terhanyut.
Kerudung hitamnya basah untuk mengelap air matanya. Lalu aku sebagai anaknya
apakah akan diam saja melihat ibu menangis? Tapi jujur aku tak tega melihat ibu menangis setelah
membaca isi surat itu. Disisi lain, saat tadi siang kutanya isi surat itu, ibu
terlihat seperti tidak mau memberi tahu apa-apa tentang surat itu.
Aku tak tega. Jujur aku tak tega.
Belum pernah kulihat ibu menangis. Aku sungguh tak tega! Aku ingin nangis.
Sungguh! Namun tanpa berpikir panjang, aku keluar dari kamarku dan
kudekap ibu yang sedang menangis. Aku belum bertanya alasan ibu menangis.
Kubiarkan ia menangis dalam dekapanku. Tanpa terasa, air mataku pun menetes membasahi
pipiku. Tetes demi tetes hingga aku tak kuasa mendengar ibu yang semakin
terisak menangis. Aku pun menangis sedu. Entah kapan aku harus mengakhiri
tangisan ini dan entah kapan aku akan mulai bertanya pada ibu. Namun setelah
kuusap punggung ibu yang sedang terisak, sepertinya tangisan ibu mulai mereda. Ia mengusap air matanya dan mulai
memandangiku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan. Ayolah bu,
ceritakan ada apa. Benakku.
“Maafkan ibu ya, nak. Ibu bukan
seorang wanita yang bisa membahagiakanmu.”
Dengan air mata masih menetes di
pipiku, aku berusaha untuk berbicara walaupun rasanya susah. “Ibu, ada apa?
Mengapa ibu menangis? Aku tidak tega melihat ibu menangis seperti ini.”
tanyaku.
“Surat ini
dari ayahmu. Ibu mau jujur, nak. Selama ini ibu selalu bilang bahwa ayah kerja
di luar negeri. Sejak kau lahir di dunia ini hingga detik ini, kau belum pernah
melihat sosok ayahmu. Maafkan ibu, nak. Sebenarnya ayah tidak kerja di luar
negeri. Sejak sebelum kau lahir, ayah memang sudah meninggalkan ibu. Tapi kamu
memang benar darah daging ibu dan ayah. Tenang, nak. Kamu bukan anak haram yang
hamil di luar nikah. Kamu anak sah. Ayah meninggalkan ibu karena ayah disuruh
oleh ibunya yaitu nenek kamu, untuk meninggalkan ibu yang secara garis
kelahiran berasal dari turunan orang tidak mampu. Ayah itu orang berada dan
nenekmu tidak ingin ayah menikah dengan gadis miskin seperti ibu saat itu.
Jujur hingga saat ini, ayah tidak pernah mengabari keadannya. Tidak pernah
menanyakan kabar ibu juga tidak pernah menanyakan kabar anaknya yaitu kamu.
Ibu semalam
bermimpi mendapat surat dari ayahmu. Mimpi itu terlihat seperti akan menjadi
kenyataan. Maaf tadi ibu menyuruhmu menunggu pak pos karena ibu takut kalau
mimpi itu hanya sekadar mimpi dan ibu sudah berharap terlalu lebih untuk
mengetahui semua tentang ayahmu, makanya ibu menyuruhmu menunggu. Dan ternyata
memang benar ibu mendapatkan surat ini. Maaf juga, nak. ibu tadi tidak mau
memberi tau tentang surat ini. Tapi pada saat tadi ibu menangis dan kamu
mendekap ibu, ibu berpikir mungkin ini saatnya ibu katakan yang sejujurnya
padamu. Ibu pikir kamu sudah beranjak dewasa.
Dan sekarang
di surat ini adalah pertama kalinya ayah memberi tahu keadaannya dan segalanya
yang berkaitan tentang dirinya. Saat ini ayah sudah bahagia bersama keluarga
barunya. Ini foto mereka di Malaysia karena saat ini mereka tinggal di
Malaysia. Ini sepertinya anak tertuanya yang mungkin sebesar kamu. Ini saudara
kamu, nak. Jujur sebenarnya ibu terluka. Betapa ibu mencintai ayahmu. Dan saat
ini beliau memperlihatkan kebahagiaan bersama keluarga barunya. Ibu harus
mengikhlaskan. Dan kamu harus mendoakan ayah supaya ayah dilindungi Allah dan
selalu diberikan kebahagiaan.“
Begitu ibu
menjelaskan panjang lebar semuanya padaku. Kini aku mengerti mengapa ibu sering
mengatakan bahwa kita harus mendoakan kebahagiaan orang lain. Mungkin maksud
tersirat ibu adalah mendoakan ayah
yang tak pernah aku temui sama sekali dalam hidupku. Aku sudah salah kaprah. Selama
ini aku merasa bahagia disaat segalanya berjalan sesuai dengan keinginan. Namun pada
saat semuanya
berubah menjadi sulit, terkadang aku menolak, tidak bisa menerima,
penolakan demi penolakan
terus muncul. Sehingga aku mulai membayangkan saat sebelum
kesulitan ini datang dan saat yang akan datang ketika kesulitan ini berakhir. Aku merasa bahagia apabila ayah
datang untuk melihat aku, melihat anaknya. Namun kini aku sadar, disaat ayah
tidak ada aku harus menerima dan tidak ada penolakan yang muncul. Semua ini
sudah terbuat dalam skenario Tuhan. Bahagia atau tidak bahagia semua orang
telah memilikinya.
Ketika aku bisa mensyukuri apa
yang telah aku miliki maka aku akan bahagia. Aku yakin bahwa Tuhan telah
memberikanku hak untuk berbahagia. Aku harap ayah bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar